Berbicara tentang tamaddun atau peradaban Atjeh, semestinya berbicara atribut Islam itu sendiri. Perkara ini lebih menjurus kepada ketangguhan tamaddun Islam yang berjalan sempurna di beberapa negara yang mayoritas penduduknya muslim. Di Atjeh umpamanya, negeri ini maju dan bermartabat ketika raja dan pemimpinnya mengedepankan tamaddun Islam sebagai peradaban bangsa yang kemudian menyatu dengan Atjeh sehingga adat budayanya pun akhirnya singkron dan identik dengannya.
Hal ini telah dimulai sejak awal perkembangan Islam, ketika Rasulullah SAW menerima wahyu pertama sebagai pertanda beliau diangkat menjadi utusan Allah swt, Islam telah hadir dengan sejumlah perubahan dan pembaharuan.
Kebangkitan Islam di awal abad ke 8 Masehi sudah membangun dunia baru dengan dasar pemikiran baru, cita-cita baru serta kebudayaan dan peradaban baru. Setelah 450 Nabi Muhammad SAW menyebarkan ajarannya di bidang teologi, kehidupan individu, kemasyarakatan dan kenegaraan, maka terbentanglah tamaddun Islam dari Granada di Spanyol sampai New Delhi India.
Tamaddun yang dahulu dirintis khulafah al Rasyidin, dilanjutkan oleh khalifah Umayyah dan khalifah Abbasiyah. Dan terus bersambung ke seluruh penjuru dunia sehingga sampailah ke bumi Atjeh di pulau Sumatera.
Kedatangan Islam ke Atjeh menciptakan suasana baru di ujung barat pulau Sumatera itu. Ketika Islam telah menguasai Atjeh, maka seluruh ummat Islam di sana menerima penuh ajarannya tanpa ragu-ragu. Dengan demikian mereka pun sanggup mempertahankannya dari berbagai gangguan dari luar (baca, kafir). Bersamaan dengan itu pula berbagai ilmu pengetahuan, baik untuk keperluan pertahanannya maupun untuk penyebaran Islam lebih luas, terus dikembangkan.
Ketangguhan Atjeh berperang melawan Inggris, Portugis, Belandan dan Jepang selama ratusan tahun lamanya merupakan satu bukti, bahwa Islam dan masyarakat Atjeh sudah demikian menyatu dan sulit untuk dipisahkan. Semua itu terjadi hanyalah disebabkan ikatan akidah melalui ilmu pendidikan dan peradaban Islam yang dibawa oleh pendahulu-pendahulu dari bumi Arab pada tahun pertama Hijrah. Dengan perkembangan tamaddun Islam di Atjeh membuat negeri itu semakin hari semakin bertambah maju dan megah.
Kemegahan negeri Atjeh di kala itu bukanlah semata-mata karena angkatan perangnya yang ditakuti di darat dan di laut, yang dalam sejarah pernah melumpuhkan angkatan perang Portugis di Semenanjung Tanah Melayu. Akan tetapi pada masa itu Atjeh memiliki pemerintahan yang teratur, dipimpin oleh sulthan yang berpengetahuan luas dan dibantu oleh para ilmuan dalam berbagai bidang. Pada masa itu puala Atjeh menjadi sumber ilmu pengetahuan dan ramai orang dari luar datang belajar ke sana. Keadaan seperti ini terus berlanjut sehingga di Negara Atjeh dikenal banyak ulama seperti Bukhari al Jauhari, Nuruddin Ar-Raniry, Syamsuddin As-Sumaterani, Hamzah Fansuri dan lainnya.
Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511), seakan-akan dunia Melayu kehilangan budaya dan tamaddun yang memperoleh dukungan kekuasaan. Kerajaan Melayu di Kepulauan Riau seperti Bintan yang sebelumnya bersama-sama Malaka menjadi pendukung sebuah wilayah budaya Melayu lama, nampaknya tidak mampu menggantikan Malaka yang telah berada dalam kekuatan asing.
Penyambungan tradisi
Kebangkitan kerajaan Atjeh dengan gaya Melayu (1606) seperti disebutkan para ahli sebagai suatu penyambungan tradisi Melayu bagi kerajaan-kerajaan di Nusantara. Gaya pemerintahan, penggunaan bahasa, latar belakang agama sebagai pilar-pilar peradaban yang dibangun bersama-sama pengembangan kekuasaan Atjeh, nampaknya masih mengacu kepada kerajaan Malaka pra Portugis. Dalam perkara politik dan ekonomi nampaknya Atjeh mampu menempatkan diri sebagai pusat perhatian dunia yang ingin melihat ketamaddunan Melayu dan Islam.
Pada permulaan Islam bertapak di bumi Atjeh, tamaddun Melayu Atjeh mulai dikembangkan oleh para raja yang telah menerima Islam sebagai pegangan hidup. Setelah jayanya kerajaan Islam Samudera Pasai di bawah pimpinan Malik al-Saleh, maka pengaruh tamaddun Islam itu terus dikembangkan oleh keturunannya dengan memperluas wilayah kuasa kerajaan Islam di waktu itu. Usaha-usaha seperti ini nampaknya mendapat sambutan baik daripada rakyat yang cinta kedamaian dan kebenaran di bawah pimpinan raja-raja Islam.
Sultan Malik al-Zahir salah seorang pahlawan keturunan raja Pasai terus bekerja keras dengan memerangi penduduk sekelilingnya yang masih belum mempunyai peradaban Islam, sampai ke Tamiang sebelah timur dah Krueng Ulim (Samalanga) di sebelah barat. Usaha keras ini akhirnya memperoleh hasil yang sangat luar biasa bagi pihak kerajaan dan rakyat. Disinilah salah satu puncak di awal kedatangan Islam dengan membawa tamaddun kepada kaum tempatan yang kemudian berkembang menjadi tamaddun Melayu Islam.
Sebagaimana diketahui, pembentukan tamaddun di Atjeh dilakukan para da’i dan pedagang-pedagang Arab yang sebelumnya sempat singgah di India. Mereka mewujudkan peradaban bangsa bersamaan dengan pengembangan agama Islam dengan berbagai cara. Ada diantara mereka yang menarik hati orang-orang tempatan dengan pertukaran barang atau perniagaan. Ada pula dengan cara yang berbentuk sebuah perkawinan dan juga dengan sejumlah pendekatan lainnya.
Setelah Islam terus berkembang sampai kepada raja-raja dalam kerajaan Atjeh , keberadaan mereka sangat terikat dengan tatacara Islam sehingga menempatkan Islam sebagai dasar negara. Dalam Kanun Meukuta Alam, ditetapkan bahwa dasar Negara Kerajaan Atjeh Darussalam adalah Islam, sementara sumber hukumnya dengan tegas dinyatakan al Quran, al hadits, ijma’ dan qiyas. Ini bermakna kerajaan Atjeh merupakan sebuah Negara Islam yang tidak perlu dipersoalkan lagi keabsahannya. Dengan demikian maka tamaddun orang-orang Atjeh pun berasal daripada peradaban dan kebudayaan Islam.
Kehidupan Islami
Keadaan ini semakin jelas dan nyata dalamn kehidupan masyarakat baik pada peringkat rakyat biasa maupun raja-raja. Kehidupan mereka tidak pernah terlepas daripada Islam walau kemana pun mereka pergi dan apa pun yang mereka perbuat. Sehingga dalam penyusunan hikayat pun senantiasa diawali dengan kalimah Allah seperti yang tersusun dalam Hikayat Sultan Atjeh Almarhum Iskandar Muda berikut ini :
Bismillah lon mula suratDeungon nama zat Tuhan Nyang EsaAlhamdulillah laju lon sambatPujoe hadarat wahidul laha(Dengan Bismillah saya awali suratDengan nama zat Tuhan Yang EsaAlhamdulillah sebagai sambungan nyaMemuji ke hadarat Allah Ta’ala)Ôh lheueh loen pujoë Allah Nyang AhadAkan Muhammad seulaweuet loen baHe ya Tuhan ku neutamah rahmatAteuëh Muhammad Saidil ambiya(Selepas memuji Allah Yang SatuKepada Muhammad shalawat kubacaYa Tuhanku tambahlah rahmatTeuhadap Muhammad Saidil Anbiya)
Kesan Islam membentuk tamaddun Atjeh lebih jauh lagi dapat dilihat pada pada setiap tata cara kehidupan masyarakat. Seperti saat seorang bayi lahir, orang tuanya atau ulama di tempatnya langsung membacakan kalimah Allah di telinganya. Bayi lelaki maka diazankan, untuk bayi perempuan hanya dibaca lafazd iqamah. Ketika umurnya menginjak lima tahun, diajarkan mengaji. Biasanya meunasah (surau) digunakan untuk anak-anak lelaki dan rumah teungku imum (imam surau) digunakan untuk perempuan, dengan gurunya adalah isteri teungku imum tersebut.
Dengan demikian rakyat Atjeh hampir semuanya pandai membaca al Quran dan bahasa Arab. Pada umur 10 tahun, anak lelaki dikhitankan dan diperintahkan melakukan shalat lima waktu sehari-semalam. Demikian juga dalam bidang kehidupan lainnya senantiasa diselaraskan dengan peradaban dan kebudayaan Islam.
Pada zaman kejayaan Atjeh di pertengahan abad ke enam belas sampai penghujung abad ke tujuh belas, para ulama besar telah mengembangkan tamaddun melayu Atjeh melalui tulisan-tulisannya yang sangat terkenal seperti kitab-kitab ditulis oleh Hamzah Fansuri, Bukhari al Jauhari, Nuruddin ar Raniry, Syamsuddin as Sumatrani, Abdul Rauf dan lain-lain. Di tanah Melayu usaha itu dikembangkan oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dan Syaikh Muhammad Thaher Jalaluddin yagn baru kembali dari Makkah.
Dari Pasai, Islam bermula bersama dengan tamaddunnya terus berkembang ke seluruh bumi Melayu. Hal ini tidak terlepas daripada letak negeri Pasai itu di tepi Selat Malaka. Faktor ini memudahkan transportasi internasional ke Pasai dari waktu ke waktu hingga hari ini. Akibat lancarnya lalu lintas melalui Selat Malaka dengan Samudera Pasai sebagai salah satu tempat persinggahannya, maka sampailah Islam serta tamaddunnya ke bagian Semenanjung Malaysia yaitu ke Kuala Terengganu. Suasana seperti ini terus berkembang hingga ke negeri Malaka sehingga pada abad ke 14, negeri ini terus menjadi pusat perdagangan kaum muslimin dan di abad ke 15 terbentuklah kerajaan yang bercorak Islam di sana.
* Oleh Hasanuddin Yusuf Adan. Penulis, Sekretaris Dewan Dakwah Islamiyah Atjeh (DDII) Atjeh
0 komentar " SEUJARAH ISLAM SAMALANGA GEUSUSÖN BUËT UREUËNG AWAI", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar
Tingalkan Komentar,kritik dan saran Sobat, terimeung geunaseh :))