Dia adalah laksamana yang jadi panglima armada wanita pertama di dunia.
Perang itu pun pecah di Teluk Haru (Selat Malaka) di pengujung abad ke-16. Armada Portugal bentrok dengan armada Aceh. Kala itu armada Tanah Rencong dipimpin langsung oleh Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil, pemimpin Aceh Darussalam selama 1589-1604, yang dibantu dua laksamana.
Pertempuran besar itu berakhir dengan kemenangan armada Aceh. Namun, korban yang jatuh di kedua belah pihak tidaklah sedikit. Portugal kehilangan ribuan serdadunya. Sekitar 1.000 mujahid Aceh juga meninggal, termasuk dua laksamananya. Salah satu laksamana itu adalah suami dari Laksamana Malahayati.
Dalam buku Malahayati Srikandi dari Aceh (Gema Salam, 1995) karya Solichin Salam disebutkan bahwa Malahayati bernama lengkap Keumala Hayati. Tanggal kelahirannya tidak dapat dipastikan, tapi dia diketahui adalah putri Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayah adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah, yang memerintah Aceh sekitar 1530-1539. Sultan Salahuddin adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), pendiri kerajaan Aceh Darussalam.
Malahayati adalah alumni jurusan angkatan laut di Mahad Baitul Makdis, akademi militer kerajaan Aceh yang dibangun atas bantuan pemerintahan Usmaniyah Turki di bawah Sultan Selim II. Di akademi yang sekitar 100 instrukturnya dari Turki inilah konon Malahayati bertemu dengan seorang calon perwira yang lebih senior yang kemudian menjadi suaminya setelah keduanya lulus. Sang suami kemudian menjadi seorang laksamana dan Malahayati diangkat Sultan menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam.
Karena suaminya gugur dalam perang Teluk Hara, maka Laksamana Malahayati memohon kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk sebuah armada yang semua prajuritnya adalah para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran itu. Sultan mengabulkan dan mengangkat Laksamana Malahayati sebagai Panglima Armada Inong Balee (Armada Perempuan Janda).
Menurut Rusdi Sufi, dalam artikel “Laksamana Keumalahayati” di buku Wanita Utama dalam Lintasan Sejarah terbitan Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita, salah satu kemungkinan alasan Sultan Al Mukammil mengangkat Malahayati sebagai laksamana adalah banyaknya intrik di istana kala itu. Sang Sultan sudah sepuh, usianya sekitar 94 tahun, sehingga isu mengenai suksesi dan upaya menyingkirkannya merebak di istana. Hal ini membuat Sultan curiga terhadap kaum lelaki, sehingga mengangkat perempuan sebagai laksamana. Pada waktu yang sama Sultan mengangkat pula Seorang perempuan, Cut Limpah, sebagai pemimpin dewan rahasia istana (intelijen).
Armada Inong Balee pimpinan Malahayati berpangkalan di Teluk Lamreh Kraung Raya. Bentengnya bernama Kuto Inong Balee yang dibangun di atas perbukitan yang tingginya 100 meter dari permukaan laut dan menghadap ke teluk. Temboknya, yang menghadap ke laut, tingginya tiga meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke laut. Sisa-sisa benteng itu masih ada di Aceh hingga kini.
Armada Inong Balee pada awal pembentukannya berkekuatan sekitar 1.000 janda. Tapi kemudian berangsur-angsur membesar menjadi 2.000 orang, yang tak hanya beranggotakan janda tapi juga gadis-gadis muda yang gagah berani.
Sebuah laporan dari masa itu menyatakan armada yang dipimpin Malahayati memiliki 100 kapal perang bersenjata meriam, yang sebagian mampu mengangkut 400-500 orang. Kekuatan angkatan laut Aceh pada masa itu termasuk yang terkuat di Asia Tenggara.
Salah satu peristiwa penting yang melibatkan Laksamana Malahayati adalah dalam menangani empat kapal dagang Belanda di bawah pimpinan dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman. Armada dagang yang dipersenjatai ini memasuki pelabuhan Banda Aceh pada 21 Juni 1599.
Ketika armada De Houtman berlabuh, mereka diterima selayaknya kapal dagang negara sahabat. Namun, air susu dibalas air tuba. Dua bersaudara itu mengkhianati kepercayaan Sultan Aceh. Mereka berkhianat dengan melakukan memanipulasi perdagangan, mengacau, dan menghasut.
Sultan lantas memerintahkan Panglima Armada Inong Balee Laksamana Malahayati untuk menyelesaikan pengkhianatan itu. Armada itu kemudian menyerbu armada De Houtman. Pertempuran satu lawan satu pun pecah di geladak kapal-kapal Belanda. Cornelis de Houtman mati ditikam rencong Malahayati dan Frederijk menjadi tawanan. Frederijk dipenjara selama dua tahun. Selama di bui, dia menyusun sebuah kamus bahasa Melayu-Belanda dan menerjemahkan injil ke bahasa Melayu.
Laksamana Malahayati memegang banyak jabatan penting. Selain memimpin Armada Inong Balee, dia juga menjadi panglima angkatan laut kerajaan Aceh dan komandan pasukan wanita pengawal istana. Malahayati juga dikenal sebagai seorang diplomat ulung.
Setahun setelah peristiwa De Houtman, Aceh dikhianati lagi oleh dua kapal dagang Belanda pimpinan Paulus van Caerden. Kapal Belanda itu merampok dan menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh yang bermuatan lada di pantai Aceh.
Akibat kelakukan Van Caerden, kedatangan armada dagang Belanda pimpinan Laksamana Jacob van Neck kena getahnya. Ketika rombongan Van Neck yang tak tahu apa-apa itu tiba di Aceh pada 31 Juni 1601, rombongan itu langsung ditangkap pasukan Malahayati.
Saat itu Belanda sedang sibuk berjuang melawan Spanyol yang ingin merdeka dan tak ingin menambah masalah dengan Aceh. Prins Maurits lalu mengirim surat kepada Sultan yang berisi permohonan maaf atas peristiwa masa lalu dan ingin mempererat hubungan Belanda dengan Aceh.
Maurits mengirim utusannya, sebuah rombongan yang terdiri dari empat kapal yang dipimpin Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker. Mereka tiba di Aceh pada 23 Agustus 1601. Kedua pemimpin itu berunding dengan Laksamana Malahayati dan menghasilkan beberapa keputusan, yakni perdamaian antara Belanda dengan Aceh, Frederijk de Houtman dibebaskan, Belanda membayar ganti rugi atas kapal-kapal yang dibajak Van Caerden sebesar 50 ribu gulden, dan Sultan mengirim tiga duta ke Belanda sebagai balasan.
Setelah Belanda, giliran Inggris yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Aceh. Ratu Elizabeth I (1558-1603) mengirim utusan yang dipimpin Laksamana Sir James Lancester ke Aceh pada 6 Juni 1602. Kedatangan Lancester disambut Laksamana Malahayati. Kedatangan utusan Inggris ini bertepatan dengan perayaan ulang tahun Sultan Aceh, yang sangat bangga dengan kunjungan tersebut. Perundingan Malahayati dengan Lancester berlangsung dengan baik dan menyepakati terbangunnya hubungan diplomatik kedua kerajaan.
Malahayati wafat dalam sebuah pertempuran laut melawan armada Portugis di Teluk Krueng Raya. Tanggal wafatnya tak diketahui hingga kini, namun makamnya masih ada di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah bukit di desan nelayan Krueng Raya, 34 kilometer dari Kota Banda Aceh. Dia dimakamkan berdampingan dengan wakilnya, Laksamana Muda Pocut Meurah Inseun.
Malahayati adalah laksamana yang jadi panglima armada wanita pertama di dunia. Sebagai perbandingan, laksamana wanita pertama yang pernah tercatat dalam sejarah adalah Artemisya, permaisuri Raja Mosul di Anatolia, yang hidup pada tahun 480 sebelum Masehi.
Sebenarnya Aceh telah melahirkan banyak tokoh perempuan. Selain Cut Nyak Dien dan Cut Meutia yang sudah terkenal, Aceh juga memiliki tokoh-tokoh lain, seperti Putri Pahang, permaisuri dari Sultan Iskandar Muda, yang menggagas pembentukan Balai Majelis Mahkamah Raya, semacam parlemen di masa kini. Sayang, belum banyak literatur yang menggali kehidupan dan peran mereka dalam sejarah.[]
Ditulis oleh Kurniawan di Ruang Baca Koran Tempo rubrik Cerita Sampul
0 komentar "Panglima Armada para janda", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar
Tingalkan Komentar,kritik dan saran Sobat, terimeung geunaseh :))